Scroll untuk baca berita
Example 325x300
Example floating
Example floating
Opini

Hari Tani, Hari Desa, Koperasi Merah Putih menuju Daulat  Pangan

524
×

Hari Tani, Hari Desa, Koperasi Merah Putih menuju Daulat  Pangan

Sebarkan artikel ini

Oleh: Dr. Yunada Arpan, dosen STIE Gentiaras Lampung.

PusaranNews.com, OPINI – Setiap tanggal 24 September, bangsa ini memperingati Hari Tani Nasional. Peringatan ini bukan sekadar seremoni, melainkan momentum untuk merenungkan kembali peran petani dalam menjaga keberlangsungan hidup kita semua.

Dari tangan para petanilah nasi tersaji di meja makan, sayur-mayur hadir di pasar, dan bahan pangan tersedia. Namun, di balik peran vital itu, ada sebuah ironi besar, Indonesia sebagai negara agraris justru belum mampu memastikan ketahanan pangan yang tangguh.

Sebagai negeri dengan tanah subur dan iklim tropis, Indonesia kerap digadang sebagai lumbung pangan dunia. Tetapi kenyataannya, petani kita masih menghadapi persoalan klasik, keterbatasan pupuk bersubsidi, harga panen yang jatuh, distribusi pangan yang tidak merata, hingga maraknya praktik impor beras, kedelai, gula, dan komoditas pokok lain.

Alih fungsi lahan kian meluas, sementara generasi muda enggan menjadi petani. Semua ini membuat ketahanan pangan rapuh, karena aktor utama, yakni petani, belum menjadi subjek utama pembangunan.

Dalam konteks inilah, menarik untuk mengaitkan Hari Tani Nasional 24 Sepetember, Hari Desa yang diperingati setiap 15 Januari serta hari Koperasi setiap tanggal 12 Juli. Desa adalah ruang hidup mayoritas petani. Di desa lah pangan diproduksi, budaya agraris bertumbuh, dan sumber daya alam dikelola.

Namun desa sering hanya dipandang sebagai objek pembangunan, bukan pusat peradaban. Padahal, membicarakan kedaulatan pangan tanpa membicarakan desa ibarat menabur benih di tanah tandus.

Di sini peran kepala desa menjadi kunci. Kepala desa bukan sekadar administrator, melainkan mobilisator pembangunan desa. Ia bisa menggerakkan masyarakat untuk memperkuat produksi pertanian, memfasilitasi akses pupuk dan teknologi, serta melindungi lahan produktif dari alih fungsi yang serampangan.

Lebih dari itu, kepala desa bisa membangun sinergi antara petani, pemerintah, dan pasar melalui BUMDes serta koperasi. Dengan kepemimpinan desa yang visioner, petani tidak lagi berjalan sendiri, melainkan bergerak dalam solidaritas kolektif.

Salah satu wadah yang strategis adalah Koperasi Merah Putih,  pemerintah telah mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2025 tentang Percepatan Pembentukan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih.

Koperasi Merah Putih merupakan bentuk terobosan baru dalam dunia perkoperasian di Indonesia yang diprakarsai oleh pemerintah sebagai upaya untuk memperkuat ekonomi rakyat  yang dapat dimaknai sebagai simbol gerakan ekonomi kerakyatan berbasis gotong royong.

Koperasi semacam ini bukan hanya tempat menabung dan meminjam, melainkan ruang bersama untuk melawan dominasi tengkulak dan korporasi besar yang kerap menekan harga hasil panen. Koperasi Merah Putih bisa menjadi jembatan dari desa ke pasar, dari petani ke konsumen, dengan prinsip keadilan dan kebersamaan.

Jika Hari Tani mengingatkan kita pada pentingnya melindungi petani, dan Hari Desa menegaskan arti strategis desa sebagai basis produksi, maka Koperasi Merah Putih adalah jantung ekonomi yang bisa menggerakkan keduanya. Ketiganya, jika dikolaborasikan, akan menjadi fondasi kokoh bagi kedaulatan pangan nasional.

Sayangnya, kebijakan pangan kita kerap masih berpihak pada kepentingan jangka pendek dan pasar global. Subsidi pupuk sering tersendat, harga panen tidak stabil, dan perlindungan terhadap lahan pertanian sering dikalahkan oleh kepentingan investasi.

Akibatnya, petani tetap miskin, desa tetap tertinggal, dan koperasi sering dipandang sebelah mata. Jika kondisi ini dibiarkan, maka negeri agraris ini akan terus bergantung pada impor, dan kedaulatan pangan hanyalah slogan kosong.

Momentum Hari Tani Nasional seharusnya menjadi ajakan untuk mengubah arah. Negara harus hadir dengan langkah nyata: memastikan distribusi pupuk yang adil, menjamin harga panen yang layak, melindungi lahan pertanian, dan memperkuat kelembagaan ekonomi desa.

Kepala desa harus didorong menjadi motor inovasi, sementara koperasi diberi ruang tumbuh sebagai kekuatan ekonomi rakyat.

Lebih jauh, kedaulatan pangan harus diletakkan sebagai bagian dari kedaulatan bangsa. Kita tidak bisa selamanya bergantung pada impor. Negeri yang subur ini semestinya mampu berdiri di atas kakinya sendiri. Untuk itu, keberpihakan pada petani, penguatan desa, dan kebangkitan koperasi harus berjalan beriringan, bukan sekadar jargon.

Pada akhirnya, Hari Tani dan Hari Desa seharusnya tidak hanya menjadi peringatan tahunan, melainkan momentum kebangkitan bersama. Jika pangan adalah kebutuhan paling mendasar manusia, maka memperkuat petani, desa, dan koperasi adalah jalan utama untuk menjaga keberlanjutan bangsa.

Sebuah negeri agraris sejati bukan hanya diukur dari luas sawah yang terbentang, melainkan dari seberapa kokoh para petaninya berdiri, seberapa kuat desa-desa menopang, dan seberapa berdaulat rakyatnya dalam mengelola pangan. (*)