Opini:
Oleh, Yoga Dimbara Arpan (Mahasiswa Universitas Lampung)
PusaranNews.com, Lampung Barat – Hari Kebudayaan Nasional yang jatuh pada 17 Oktober bukan sekadar seremoni, melainkan cermin bagi kita untuk menengok kembali akar budaya.
Di Lampung, filosofi Piil Pesenggiri menyimpan nilai luhur yang bukan hanya menjaga kohesi sosial, tetapi juga menawarkan jalan menuju pembangunan yang berkelanjutan dan berkeadilan.
Budaya adalah identitas yang paling dalam Ia tidak hanya berupa tarian, pakaian, atau musik tradisional, melainkan juga nilai, norma, dan cara pandang hidup. Dalam masyarakat Lampung, Piil Pesenggiri mengajarkan tentang harga diri, solidaritas, gotong royong, dan keadaban dalam pergaulan.
Nilai ini, bila dihidupkan kembali, bukan hanya menjaga kohesi sosial, melainkan juga menuntun masyarakat menuju peradaban yang beradab, terbuka, dan saling menghargai ciri utama masyarakat madani.
Namun, realitas hari ini menunjukkan adanya tantangan serius. Globalisasi dan modernisasi telah membuka akses luas terhadap budaya populer global yang begitu cepat merasuki ruang publik, terutama melalui media digital.
Anak muda lebih mengenal musik K-Pop, bahasa gaul media sosial, dan makanan cepat saji, ketimbang bahasa Lampung, cerita rakyat setempat, atau kuliner tradisional.
Hari Kebudayaan Nasional haruslah menjawab tantangan itu. Ia tidak boleh berhenti pada seremoni, melainkan menjadi momentum revitalisasi budaya. Misalnya, bahasa Lampung yang kian jarang digunakan dapat kembali diajarkan secara kreatif di sekolah-sekolah. Bahasa merupakan salah satu warisan budaya yang harus kita jaga. Bahasa ibu adalah cermin identitas sebuah bangsa.
Khusus bagi masyarakat Lampung, bahasa daerah bukan sekadar alat komunikasi, melainkan simbol harga diri, kepribadian, dan peradaban. Sayangnya, hari ini bahasa Lampung semakin jarang digunakan. Banyak anak-anak lebih fasih berbahasa Indonesia bahkan asing, sementara bahasa ibunya perlahan tergeser.
UNESCO mengingatkan bahwa setiap dua minggu sekali ada satu bahasa di dunia yang punah. Bahasa Lampung pun masuk kategori bahasa yang terancam berkurang penuturnya jika tidak dijaga secara serius. Data Badan Bahasa (2022) menunjukkan, dari 718 bahasa daerah di Indonesia, lebih dari 11 sudah punah dan 25 berada dalam kondisi kritis. Lampung tentu tidak boleh menyusul.
Bahasa Lampung, bila tidak dijaga, bisa mengalami nasib serupa. Inilah tantangan sekaligus tanggung jawab kita, terutama generasi muda, untuk menjaga warisan budaya tersebut agar tetap hidup di tengah derasnya arus globalisasi.
Menghidupkan bahasa Lampung bukan berarti menolak modernisasi. Justru bahasa daerah dapat dipadukan dengan teknologi digital sebagai ruang ekspresi kreatif. Misalnya, mahasiswa dan pelajar bisa membuat konten sederhana di media sosial: video percakapan sehari-hari, komik digital, bahkan podcast berbahasa Lampung. Dengan cara ini, bahasa Lampung tidak lagi dianggap kuno, melainkan relevan dengan kehidupan anak muda.
Selain itu, sekolah dan kampus dapat menjadi laboratorium bahasa. Guru dan dosen tidak hanya mengajarkan teori, tetapi juga mengajak siswa berlatih menulis puisi, drama, atau cerpen dalam bahasa Lampung. Festival bahasa daerah di kampus juga dapat menjadi ruang apresiasi. Ketika mahasiswa tampil membaca puisi atau berpidato dalam bahasa Lampung, mereka sebenarnya sedang memperkuat identitas sekaligus memupuk kebanggaan kolektif.
Kita juga perlu melibatkan komunitas budaya dan seniman lokal. Workshop seni tradisi, pelatihan menulis aksara Lampung, hingga pentas musik gamolan dapat membuka ruang perjumpaan antara generasi tua dan muda. Kolaborasi ini penting agar nilai-nilai budaya tidak hanya berhenti pada seremoni, tetapi benar-benar hidup dalam keseharian.
Generasi muda Lampung harus menyadari bahwa bahasa ibu adalah warisan sekaligus energi. Menjaganya bukan sekadar romantisme, tetapi sebuah strategi kebudayaan untuk menghadapi masa depan. Bangsa yang kehilangan bahasa ibunya akan kehilangan arah, sementara bangsa yang merawat budayanya akan dihargai di mata dunia.
Hari ini, saat kita memperingati momentum kebudayaan nasional, mari kita jadikan bahasa Lampung sebagai bagian dari kebanggaan. Dengan menghidupkannya di sekolah, kampus, dan media digital, kita sedang menuliskan jejak peradaban untuk generasi mendatang. Tugas ini memang berat, tetapi bukan tidak mungkin. Sebab, di tangan generasi mudalah bahasa Lampung akan terus bernapas.
Seperti kata Ki Hadjar Dewantara: “Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menghargai budayanya sendiri.” Menghidupkan bahasa Lampung adalah bentuk penghargaan itu. Tugas ini bukan sekadar nostalgia masa lalu, melainkan strategi menjaga jati diri di tengah arus globalisasi.
Di era digital, generasi muda justru memiliki peluang besar. Mahasiswa, pelajar, dan komunitas muda bisa menghidupkan bahasa Lampung lewat konten kreatif: video percakapan singkat, podcast, komik digital, hingga musik dengan lirik bahasa daerah. Bahasa Lampung tidak lagi dipandang kaku, melainkan segar, modern, dan gaul.
Sekolah dan kampus dapat menjadi laboratorium bahasa. Guru dan dosen tidak cukup hanya mengajarkan teori, tetapi perlu mengajak siswa menulis puisi, membuat drama, atau berpidato dalam bahasa Lampung. Festival budaya mahasiswa bisa menjadi panggung apresiasi yang menumbuhkan kebanggaan kolektif.
Kolaborasi lintas generasi pun penting. Para seniman dan tokoh adat Lampung dapat menjadi sumber inspirasi, sementara anak muda menjadi penggerak dengan kreativitasnya. Dari pertemuan itu akan lahir energi baru: tradisi yang terjaga, sekaligus inovasi yang relevan dengan zaman.
Kunci utamanya adalah kesadaran. Generasi muda Lampung harus menyadari bahwa bahasa ibu adalah warisan sekaligus energi. Menjaganya bukan sekadar pilihan, tetapi tanggung jawab sejarah. Di tangan generasi mudalah bahasa Lampung akan terus bernapas dan berkembang. Mereka bukan hanya pewaris, tetapi juga penjaga dan pengembang bahasa yang menjadi jantung kebudayaan.
Momentum Hari Kebudayaan Nasional pada 17 Oktober adalah saat yang tepat untuk meneguhkan komitmen ini. Apa yang dilakukan hari ini, mengajarkan, menuturkan, dan menghidupkan bahasa Lampung, akan menjadi jejak sejarah bahwa kita adalah bangsa beradab dan berbudaya. (*)







